Setiap tanggal 9 Zulhijah, Pak Budi punya kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak lima tahun terakhir: membagikan nasi bungkus untuk orang-orang yang berpuasa Arafah di sekitar lingkungan sekolah tempat ia bekerja sebagai satpam.
“Sekadar pengingat bahwa rezeki itu amanah, bukan cuma untuk diri sendiri,” katanya suatu ketika, saat seorang guru menanyakan alasan di balik kebiasaannya.
Pak Budi bukan orang kaya. Istrinya telah lama wafat, dan ia tinggal berdua dengan anak semata wayangnya, Reza, siswa kelas 10. Gajinya pas-pasan. Namun, sejak bulan Rajab, ia rajin menyisihkan dua ribu rupiah dari uang makannya ke dalam toples plastik kecil bertuliskan “Arafah”.
“Kalau dikumpulin dari sekarang, insyaallah cukup buat 50 bungkus,” ujarnya yakin.
Namun, tahun ini, cobaan datang lebih cepat. Dua minggu sebelum hari Arafah, Reza jatuh sakit dan harus dirawat. Biaya rumah sakit menguras semua isi toplesnya. Bahkan lebih. Pak Budi sampai meminjam uang dari koperasi guru.
Hari-hari berlalu. Reza mulai pulih, tetapi toples itu telah kosong. Pak Budi tahu, mimpinya untuk membagikan nasi di hari Arafah sepertinya harus tertunda.
“Tahun ini … mungkin enggak jadi,” gumamnya lirih, menatap toples kosong itu malam sebelum hari Arafah.
Keesokan paginya, udara terasa lebih teduh dari biasanya. Para siswa dan guru yang berpuasa Arafah tampak ceria. Di tengah keramaian pagi, Pak Budi berdiri di gerbang sekolah seperti biasa, memberi salam dengan senyum tulus.
“Pak Budi enggak bagi nasi tahun ini?” tanya Dani, siswa kelas 11 yang pernah menerima nasi bungkus darinya.
Pak Budi tersenyum tipis. “Belum ada rezekinya, Nak. Doakan ya.”
Dani hanya mengangguk, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu.
Tak lama kemudian, Dani kembali bersama dua guru dan beberapa teman lainnya. Mereka menghampiri Pak Budi dengan senyum lebar.
“Pak, kami urunan. Ini ada sedikit rezeki. Bapak masih sempat beli nasi bungkus, kan?” ucap Bu Lilis, guru agama, mewakili semuanya.
Pak Budi menatap amplop kecil yang disodorkan ke tangannya. Matanya membesar. Isinya lebih dari cukup.
“Ini … dari mana?”
“Dari langit, Pak,” celetuk Dani riang.
Pak Budi nyaris tak bisa menahan air mata. Rasanya seperti Allah menjawab doa yang ia bisikkan semalam—melalui tangan-tangan kecil yang tanpa pamrih.
Ia segera berangkat ke warung langganannya, memesan 60 bungkus nasi lengkap. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak berhenti bersyukur. Ia teringat: bahwa kebaikan yang dilakukan terus-menerus, walau kecil, tidak pernah sia-sia. Allah tidak tidur. Allah tak pernah alpa.
Menjelang Magrib, mushola sekolah ramai. Lesehan digelar. Nasi bungkus berjejer rapi. Para guru, siswa, staf TU, bahkan penjaga kantin ikut hadir. Pak Budi berdiri di ujung ruangan, menyaksikan semuanya dengan mata berkaca.
Saat azan berkumandang, semua membatalkan puasa. Di tengah hiruk-pikuk suara makan dan tawa ringan, Pak Budi berdoa dalam hati. Ia merasa sangat kecil, tetapi dicintai oleh Dzat yang Maha Besar.
Ia teringat satu pelajaran: ketika kita ingin memberi dalam keadaan sempit, Allah sendiri yang akan mencukupkan.
Setelah semua orang pulang, Dani menghampiri Pak Budi yang sedang membereskan bungkus nasi.
“Pak, boleh tanya?”
“Boleh, Nak.”
“Kenapa sih Bapak niat banget bagi nasi tiap hari Arafah?”
Pak Budi tersenyum. “Dulu, waktu masih muda, Bapak pernah dikasih nasi bungkus saat puasa Arafah, di stasiun. Lagi kehabisan uang. Entah siapa yang kasih. Tapi dari situ Bapak sadar, kadang satu nasi bungkus bisa jadi penyambung harapan seseorang.”
Dani terdiam. Ia tak menyangka ada makna sedalam itu dari sebuah niat sederhana.
“Kebaikan itu enggak selalu harus besar,” lanjut Pak Budi. “Kadang, Allah hanya ingin melihat sejauh mana kita percaya bahwa Dia akan membalas. Bahkan kalau cuma bisa nyisihin dua ribu sehari pun, insyaallah ada jalannya.”
Dani tersenyum kecil. “Kalau orang yang dulu kasih nasi ke Bapak itu tahu kalau Bapak mengikuti jejaknya, pasti dia bahagia banget.”
Pak Budi tertawa ringan. “Mungkin dia enggak tahu. Tapi Allah tahu. Dan Allah enggak pernah lupa.”
Di luar mushola, langit mulai gelap. Tapi hati Pak Budi terasa terang—karena ia tahu, kebaikan kecil yang dilakukan dengan ikhlas bisa mengalir jauh. Bahkan mungkin, sampai ke surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar