Ramadhan selalu membawa
suasana berbeda di sekolah. Entah karena jam pelajaran yang terasa lebih
singkat, kantin yang tertutup hingga azan Maghrib berkumandang, atau sekadar
semangat berbuka puasa bersama yang membuat sore hari terasa lebih
menyenangkan.
Di bawah pohon ketapang besar yang berdiri di sudut halaman sekolah, tiga orang remaja duduk mengelilingi sebuah meja kayu panjang. Udara sore berhembus lembut, membawa aroma khas bulan puasa—campuran antara udara hangat, tanah yang mulai mendingin, dan samar-samar bau gorengan yang entah datang dari mana.
"Aku nggak nyangka
kita udah setengah jalan puasa tahun ini," kata Faris, meregangkan kedua
tangannya ke belakang sambil menghela napas puas.
Aisyah, yang duduk di
seberangnya, menutup buku catatan di pangkuannya. "Masih dua minggu lagi,
Far. Jangan senang dulu. Biasanya orang-orang justru mulai bolong puasanya di
pertengahan."
Faris menyeringai.
"Makanya, kita harus jaga semangat. Bukber terus setiap hari!"
Rafa, yang sejak tadi
diam, hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada sesuatu di
tangannya—selembar kertas kecil yang baru saja ia ambil dari saku bajunya.
Tidak seperti Faris yang penuh energi atau Aisyah yang selalu tenang dan teratur,
Rafa adalah tipe yang tidak banyak bicara. Namun, kehadirannya di antara mereka
berdua sudah seperti keseimbangan yang tak tergantikan.
Matahari mulai merendah
di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Beberapa siswa
masih terlihat duduk berkelompok, menunggu waktu berbuka. Sebagian lainnya
sibuk berkeliling, mengumpulkan donasi untuk program Ramadhan sekolah.
Di dekat masjid sekolah,
sebuah kotak kayu sederhana diletakkan di atas meja kecil. Tulisannya jelas:
Harapan Ramadhan – Tulis doa dan harapanmu, masukkan ke dalam kotak ini!
Setiap tahun, sekolah
mereka mengadakan program ini. Siapa saja bisa menuliskan harapan mereka, baik
itu doa-doa pribadi, permintaan maaf, atau sekadar curhatan ringan tentang apa
yang mereka rasakan selama bulan puasa. Tidak ada yang tahu siapa yang
menulisnya, karena semuanya bersifat anonim.
Faris yang sejak tadi
tidak bisa diam, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah kotak amal itu.
"Pernah kepikiran nggak sih, apa yang orang-orang tulis di sini?" tanyanya
sambil mengetuk-ngetuk kotaknya dengan ujung jarinya.
Aisyah mendesah.
"Faris, itu bukan buat dibaca orang lain."
"Aku cuma
penasaran," katanya, mengambil salah satu kertas di atas tumpukan.
"Siapa tahu ada yang menulis sesuatu yang menarik."
Aisyah mendelik, tetapi
Faris sudah lebih dulu membuka lipatan kertasnya. Rafa, yang tadinya tidak
tertarik, kini ikut melirik ke arahnya.
"Apa isinya?"
tanya Rafa akhirnya.
Faris membaca pelan, dan
ekspresinya berubah dalam hitungan detik. Senyum jahilnya menghilang, berganti
dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.
"Eh...." Ia
menelan ludah, menatap Aisyah dan Rafa bergantian. "Ini … kayaknya salah
satu dari kita yang nulis."
Aisyah mengerutkan
kening. "Maksudmu?"
Faris mengangkat kertas
itu, memperlihatkan tulisan tangan yang rapi tetapi sedikit goyah.
"Aku menyukai
seseorang di antara kita bertiga, tapi aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan
sesaat atau sesuatu yang lebih dalam. Semoga Allah memberi petunjuk."
Angin sore berhembus
pelan. Tiga pasang mata kini terpaku pada secarik kertas di tangan Faris.
Tak ada yang berbicara
untuk beberapa detik. Namun, di antara mereka bertiga, ada satu yang tahu lebih
banyak dari yang lain.
---------------
In syaa Allah next ke part selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar