Selasa, Mei 27, 2025

Pesanan Bu Siti

 



Aku pernah menikah selama dua tahun. Cerai di tahun ketiga. Prosesnya cepat, kayak mi instan—panas, berasap, dan bikin kenyang emosi.

Lima tahun kemudian, aku jadi tukang katering rumahan. Bukan bisnis viral TikTok, cuma menu harian di grup WA kompleks: sayur asem, ayam kecap, kadang rendang kalau lagi banyak waktu dan nggak malas potong daging.

Sampai suatu siang, ada panggilan masuk dari nomor asing.

“Assalamualaikum, Mbak Tika. Ini Bu Siti. Boleh pesan dua porsi hari ini?”

Aku sempat nahan napas. Bukan karena kaget—lebih karena campur aduk. Nama itu, nada itu ... Ibu mertuaku. Eh, mantan. Tapi tetap terasa mertua. Susah dihapus dari otak.

Bu Siti adalah tipe ibu-ibu yang kalau ngomong terdengar seperti ceramah di majelis taklim, tapi isinya kritik soal dandananku yang “kurang menantuable”.

Tapi dia pesan makanan dariku. Dua porsi. Padahal dulu katanya, “Tika ini masaknya hambar, kayak hatinya.”

“Waalaikumsalam, Bu. Bisa, Bu. Kirim ke alamat biasa?”

“Iya, rumah yang dulu kamu tempatin bareng Raka.”

Kutahan napas sebelum akhirnya cuma menjawab, "Iya."


Pesanannya rutin. Kadang dua kali seminggu, kadang tiap hari. Menunya dia pilih sendiri dari daftar harian. Tapi selalu dua porsi. "Siapa ya teman makannya? Pembantu? Tetangga? Atau ... kucing?"

Hari itu kurir langgananku izin pulang kampung. Akhirnya aku putuskan antar sendiri. Aku pakai jaket, helm, dan niat untuk nggak baper.

Sampai di depan pagar rumah hijau itu, aku menatap tembok yang dulunya saksi bisu ribut-ribut antara aku dan Raka karena posisi rak sendal.

Tok. Tok.

Pintu dibuka. Bu Siti muncul pakai daster batik dan handuk melingkar di leher, seperti habis main badminton padahal kemungkinan cuma nyiram bunga.

“Eh, Tika! Ya ampun, kamu makin kurus. Jangan diet terus, nanti diterbangin angin, loh.”

Aku senyum. “Kalau diterbangin, semoga mendarat di rumah mertua yang baru, Bu.”

Dia tertawa keras. “Aduh, masih aja nyolot. Kangen juga dengar ocehan kamu.”

Tangannya gesit ambil kantong makanan. “Masuk dulu lah, jangan di pintu. Masa mantan menantu ditinggal berdiri.”

Sofa masih sama. Bau bantal juga masih khas: campuran kapur barus dan kenangan pahit. Tapi kali ini rasanya nggak sesak.

“Raka apa kabar, Bu?” tanyaku sambil melihat-lihat.

“Masih hidup,” jawabnya singkat. “Sekarang tinggal di Makassar. Nikah lagi. Tapi katanya rumah mereka minimalis. Nggak cukup buat ibu.”

“Jadi ... Ibu tinggal sendiri?”

“Iya. Sama kenangan.”

Aku menahan tawa. “Kenangan yang mana, Bu? Yang bawa pulang gaji ke istri atau yang bawa pulang cucian ke ibu?”

Kami tertawa. Suasana jadi cair, kayak kolak tapi nggak pakai santan basi.

“Serius, Tik. Masakan kamu makin enak. Sayang banget ya ... dulu kita terlalu sibuk debat sambel pedas atau nggaknya.”

Aku angkat alis. “Padahal masalahnya bukan di sambel, Bu. Tapi di siapa yang megang remote TV waktu malam minggu.”

“Ah ya, itu juga. Kamu sukanya drama Korea, ibu maunya sinetron.”


Hubungan kami jadi ... aneh. Tapi nyaman. Kayak sandal jepit beda warna tapi tetap bisa dipakai jalan.

Kadang dia kasih aku pisang goreng, kadang aku kirim lauk tambahan. Pernah sekali dia kirim pesan:

“Kalau bisa, nasinya jangan banyak ya, Mbak. Ibu lagi diet ... karena lambung.”

Aku antar sendiri lagi hari itu. Bu Siti duduk di kursi rotan, perutnya dipeluk dengan bantal kecil.

“Sakit lagi?” tanyaku, khawatir.

“Sedikit. Tapi jangan bilang-bilang ya, nanti dikira manja sama tetangga.”

Aku ambilkan air hangat, seperti dulu. Tangannya gemetar saat menerima gelas. Tapi matanya masih jenaka.

“Kamu tahu nggak, kenapa ibu langganan kamu terus?”

“Karena nggak punya pilihan lain?” jawabku cepat.

Dia cekikikan. “Bukan. Soalnya rasa masakan kamu tuh kayak ... pakai hati. Bukan cuma garam sama micin.”

Aku duduk di sebelahnya. “Soalnya kalau masak pakai dendam, nanti pait, Bu.”

“Makanya dulu rasa sop kamu hambar, ya? Soalnya kamu kesal tiap lihat muka ibu?”

Kami berdua tertawa lagi. Hahaha


Mungkin ini bukan kisah cinta. Tapi juga bukan kisah benci. Ini cuma kisah dua orang perempuan yang dulu terlalu keras kepala untuk saling memahami.

Kini, tiap piring yang aku kirim ke rumah Bu Siti, bukan cuma berisi nasi dan lauk, tapi juga sedikit permintaan maaf yang terselip di antara bawang goreng.

Dan diam-diam, aku merasa ... rumah itu memang bukan tempat untuk tinggal selamanya. Tapi tempat untuk belajar bagaimana mencintai tanpa harus selalu dimengerti



Titimangsa:

Padang, di sudut ruangan menanti senja 

Minggu, Mei 25, 2025

Sebungkus Nasi dari Langit



Setiap tanggal 9 Zulhijah, Pak Budi punya kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak lima tahun terakhir: membagikan nasi bungkus untuk orang-orang yang berpuasa Arafah di sekitar lingkungan sekolah tempat ia bekerja sebagai satpam.


“Sekadar pengingat bahwa rezeki itu amanah, bukan cuma untuk diri sendiri,” katanya suatu ketika, saat seorang guru menanyakan alasan di balik kebiasaannya.


Pak Budi bukan orang kaya. Istrinya telah lama wafat, dan ia tinggal berdua dengan anak semata wayangnya, Reza, siswa kelas 10. Gajinya pas-pasan. Namun, sejak bulan Rajab, ia rajin menyisihkan dua ribu rupiah dari uang makannya ke dalam toples plastik kecil bertuliskan “Arafah”.


“Kalau dikumpulin dari sekarang, insyaallah cukup buat 50 bungkus,” ujarnya yakin.


Namun, tahun ini, cobaan datang lebih cepat. Dua minggu sebelum hari Arafah, Reza jatuh sakit dan harus dirawat. Biaya rumah sakit menguras semua isi toplesnya. Bahkan lebih. Pak Budi sampai meminjam uang dari koperasi guru.


Hari-hari berlalu. Reza mulai pulih, tetapi toples itu telah kosong. Pak Budi tahu, mimpinya untuk membagikan nasi di hari Arafah sepertinya harus tertunda.


“Tahun ini … mungkin enggak jadi,” gumamnya lirih, menatap toples kosong itu malam sebelum hari Arafah.


Keesokan paginya, udara terasa lebih teduh dari biasanya. Para siswa dan guru yang berpuasa Arafah tampak ceria. Di tengah keramaian pagi, Pak Budi berdiri di gerbang sekolah seperti biasa, memberi salam dengan senyum tulus.


“Pak Budi enggak bagi nasi tahun ini?” tanya Dani, siswa kelas 11 yang pernah menerima nasi bungkus darinya.


Pak Budi tersenyum tipis. “Belum ada rezekinya, Nak. Doakan ya.”


Dani hanya mengangguk, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu.


Tak lama kemudian, Dani kembali bersama dua guru dan beberapa teman lainnya. Mereka menghampiri Pak Budi dengan senyum lebar.


“Pak, kami urunan. Ini ada sedikit rezeki. Bapak masih sempat beli nasi bungkus, kan?” ucap Bu Lilis, guru agama, mewakili semuanya.


Pak Budi menatap amplop kecil yang disodorkan ke tangannya. Matanya membesar. Isinya lebih dari cukup.


“Ini … dari mana?”


“Dari langit, Pak,” celetuk Dani riang.


Pak Budi nyaris tak bisa menahan air mata. Rasanya seperti Allah menjawab doa yang ia bisikkan semalam—melalui tangan-tangan kecil yang tanpa pamrih.


Ia segera berangkat ke warung langganannya, memesan 60 bungkus nasi lengkap. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak berhenti bersyukur. Ia teringat: bahwa kebaikan yang dilakukan terus-menerus, walau kecil, tidak pernah sia-sia. Allah tidak tidur. Allah tak pernah alpa.


Menjelang Magrib, mushola sekolah ramai. Lesehan digelar. Nasi bungkus berjejer rapi. Para guru, siswa, staf TU, bahkan penjaga kantin ikut hadir. Pak Budi berdiri di ujung ruangan, menyaksikan semuanya dengan mata berkaca.


Saat azan berkumandang, semua membatalkan puasa. Di tengah hiruk-pikuk suara makan dan tawa ringan, Pak Budi berdoa dalam hati. Ia merasa sangat kecil, tetapi dicintai oleh Dzat yang Maha Besar.


Ia teringat satu pelajaran: ketika kita ingin memberi dalam keadaan sempit, Allah sendiri yang akan mencukupkan.


Setelah semua orang pulang, Dani menghampiri Pak Budi yang sedang membereskan bungkus nasi.


“Pak, boleh tanya?”


“Boleh, Nak.”


“Kenapa sih Bapak niat banget bagi nasi tiap hari Arafah?”


Pak Budi tersenyum. “Dulu, waktu masih muda, Bapak pernah dikasih nasi bungkus saat puasa Arafah, di stasiun. Lagi kehabisan uang. Entah siapa yang kasih. Tapi dari situ Bapak sadar, kadang satu nasi bungkus bisa jadi penyambung harapan seseorang.”


Dani terdiam. Ia tak menyangka ada makna sedalam itu dari sebuah niat sederhana.


“Kebaikan itu enggak selalu harus besar,” lanjut Pak Budi. “Kadang, Allah hanya ingin melihat sejauh mana kita percaya bahwa Dia akan membalas. Bahkan kalau cuma bisa nyisihin dua ribu sehari pun, insyaallah ada jalannya.”


Dani tersenyum kecil. “Kalau orang yang dulu kasih nasi ke Bapak itu tahu kalau Bapak mengikuti jejaknya, pasti dia bahagia banget.”


Pak Budi tertawa ringan. “Mungkin dia enggak tahu. Tapi Allah tahu. Dan Allah enggak pernah lupa.”


Di luar mushola, langit mulai gelap. Tapi hati Pak Budi terasa terang—karena ia tahu, kebaikan kecil yang dilakukan dengan ikhlas bisa mengalir jauh. Bahkan mungkin, sampai ke surga.




Kamis, Mei 15, 2025

Menulis, Sebuah Kebiasaan Kecil dengan Dampak Besar

 


Pernahkah kalian merasa pikiran terlalu penuh, tapi sulit menjelaskan apa yang sebenarnya mengganggu? Atau justru kalian punya banyak ide, tapi semuanya beterbangan tanpa arah? Di sinilah menulis hadir sebagai alat sederhana yang bisa memberi kejelasan, ketenangan, bahkan arah.



Menulis bukan semata urusan para penulis atau jurnalis. Siapa pun bisa menulis. Bahkan, banyak orang menemukan bahwa rutinitas menulis—walau hanya lima belas menit sehari—telah membawa perubahan positif dalam hidup mereka. Mulai dari mengelola emosi, mencatat ide-ide penting, hingga menemukan kembali impian yang sempat terlupakan.



Salah satu tujuan utama dari menulis adalah untuk memahami diri sendiri. Saat menuangkan kata demi kata, sering kali kita menemukan hal-hal yang sebelumnya tersembunyi di balik rutinitas sehari-hari. Tak jarang, menulis juga menjadi bentuk terapi, cara untuk berdamai dengan masa lalu, dan langkah awal untuk merancang masa depan.

Selain itu, menulis juga mengasah kemampuan berpikir. Proses menyusun kalimat melatih kita untuk lebih runtut, logis, dan jernih dalam menyampaikan gagasan. Dalam dunia kerja, keterampilan ini sangat berharga. Bahkan dalam kehidupan pribadi, menulis bisa membantu kita menyampaikan perasaan dengan lebih tepat—baik dalam bentuk catatan harian, pesan untuk orang terdekat, maupun karya kreatif yang lebih luas.

Dan yang tak kalah penting: menulis bisa menjadi sarana berbagi. Apa yang kalian alami, rasakan, dan pelajari, bisa jadi sangat berarti bagi orang lain. Dari situ, terbuka kemungkinan untuk membangun koneksi, menciptakan karya, bahkan menginspirasi.

Jika kalian ingin mulai menulis tapi masih bingung harus mulai dari mana, saya sudah menyiapkan Jurnal Menulis  yang bisa kalian unduh secara gratis, khusus untuk para tamu blog saya. Panduan ini cocok bagi siapa saja yang ingin membangun kebiasaan menulis secara konsisten dan menyenangkan.

Pesanan Bu Siti

  Aku pernah menikah selama dua tahun. Cerai di tahun ketiga. Prosesnya cepat, kayak mi instan—panas, berasap, dan bikin kenyang emosi. Lima...