Senin, Maret 03, 2025

Sahur Pertama di Ramadhan Tahun Ini: Penuh Kehebohan, Tapi Tetap Berkah

 

(Sumber: PictAI)



Sahur pertama selalu punya cerita sendiri. Alarm sudah dipasang, niat bangun lebih awal sudah ada, tapi tetap saja, mata ini rasanya berat banget. Apalagi, begitu membuka mata, langsung ingat: harus masak makanan yang baru, meski sebagian besar pengguna rumah tahu, kalau nyonya rumah ini kurang suka sering-sering masuk dapur. Namun, mau tak mau tetap harus masuk dapur karena di rumah ini, sahur bukan sahur kalau makannya bukan masakan fresh dari dapur.



Sambil setengah mengantuk, saya menuju dapur. Kompor menyala, suara minyak mendesis, dan aroma masakan mulai menguar. Dalam hati berharap, semoga anak-anak nanti semangat makannya. Namun, ya … namanya juga rumah dengan empat anak yang karakternya beda-beda. Ada yang gampang bangun dan langsung duduk manis, ada yang harus dipanggil berkali-kali, ada yang kalau bangun mood-nya bagus, tetapi ada juga yang bangun dengan drama—entah karena masih ngantuk, nggak selera makan, atau sekadar butuh perhatian lebih.



Begitulah, sahur pertama ini nggak jauh berbeda dari pagi biasanya, hanya saja sekarang lebih dini. Ada yang lahap makan, ada yang protes karena nasinya “kebanyakan” atau lauknya “kurang menarik,” dan tentu saja ada negosiasi yang panjang agar si abang mau menghabiskan makanannya. Tapi di balik semua kerempongan ini, ada momen-momen kecil yang bikin hati hangat. Mungkin saat si kakak yang membantu membangunkan adiknya, atau saat akhirnya semua duduk di meja yang sama, makan bersama meskipun dengan gaya masing-masing.



Sahur itu bukan sekadar makan sebelum puasa, tetapi juga momen kebersamaan yang mungkin jarang terjadi di waktu lain. Jadi, meskipun heboh, saya tetap menikmati setiap detiknya. Karena siapa tahu, beberapa tahun ke depan, justru sayalah yang rindu dengan kehebohan sahur seperti ini. 💕



Bagaimana dengan sahur pertamamu? Ada drama juga atau berjalan lancar? 😆



#dbestramadhan2025
#dbestramadhan1


Surat Tanpa Nama di Kotak Amal (Fiksi)

 



Ramadhan selalu membawa suasana berbeda di sekolah. Entah karena jam pelajaran yang terasa lebih singkat, kantin yang tertutup hingga azan Maghrib berkumandang, atau sekadar semangat berbuka puasa bersama yang membuat sore hari terasa lebih menyenangkan.

 

Di bawah pohon ketapang besar yang berdiri di sudut halaman sekolah, tiga orang remaja duduk mengelilingi sebuah meja kayu panjang. Udara sore berhembus lembut, membawa aroma khas bulan puasa—campuran antara udara hangat, tanah yang mulai mendingin, dan samar-samar bau gorengan yang entah datang dari mana.

 

"Aku nggak nyangka kita udah setengah jalan puasa tahun ini," kata Faris, meregangkan kedua tangannya ke belakang sambil menghela napas puas.

 

Aisyah, yang duduk di seberangnya, menutup buku catatan di pangkuannya. "Masih dua minggu lagi, Far. Jangan senang dulu. Biasanya orang-orang justru mulai bolong puasanya di pertengahan."

 

Faris menyeringai. "Makanya, kita harus jaga semangat. Bukber terus setiap hari!"

 

Rafa, yang sejak tadi diam, hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada sesuatu di tangannya—selembar kertas kecil yang baru saja ia ambil dari saku bajunya. Tidak seperti Faris yang penuh energi atau Aisyah yang selalu tenang dan teratur, Rafa adalah tipe yang tidak banyak bicara. Namun, kehadirannya di antara mereka berdua sudah seperti keseimbangan yang tak tergantikan.

 

Matahari mulai merendah di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Beberapa siswa masih terlihat duduk berkelompok, menunggu waktu berbuka. Sebagian lainnya sibuk berkeliling, mengumpulkan donasi untuk program Ramadhan sekolah.

 

Di dekat masjid sekolah, sebuah kotak kayu sederhana diletakkan di atas meja kecil. Tulisannya jelas: Harapan Ramadhan – Tulis doa dan harapanmu, masukkan ke dalam kotak ini!

 

Setiap tahun, sekolah mereka mengadakan program ini. Siapa saja bisa menuliskan harapan mereka, baik itu doa-doa pribadi, permintaan maaf, atau sekadar curhatan ringan tentang apa yang mereka rasakan selama bulan puasa. Tidak ada yang tahu siapa yang menulisnya, karena semuanya bersifat anonim.

 

Faris yang sejak tadi tidak bisa diam, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah kotak amal itu. "Pernah kepikiran nggak sih, apa yang orang-orang tulis di sini?" tanyanya sambil mengetuk-ngetuk kotaknya dengan ujung jarinya.

 

Aisyah mendesah. "Faris, itu bukan buat dibaca orang lain."

 

"Aku cuma penasaran," katanya, mengambil salah satu kertas di atas tumpukan. "Siapa tahu ada yang menulis sesuatu yang menarik."

 

Aisyah mendelik, tetapi Faris sudah lebih dulu membuka lipatan kertasnya. Rafa, yang tadinya tidak tertarik, kini ikut melirik ke arahnya.

 

"Apa isinya?" tanya Rafa akhirnya.

 

Faris membaca pelan, dan ekspresinya berubah dalam hitungan detik. Senyum jahilnya menghilang, berganti dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.

 

"Eh...." Ia menelan ludah, menatap Aisyah dan Rafa bergantian. "Ini … kayaknya salah satu dari kita yang nulis."

 

Aisyah mengerutkan kening. "Maksudmu?"

 

Faris mengangkat kertas itu, memperlihatkan tulisan tangan yang rapi tetapi sedikit goyah.

 

"Aku menyukai seseorang di antara kita bertiga, tapi aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sesaat atau sesuatu yang lebih dalam. Semoga Allah memberi petunjuk."

 

Angin sore berhembus pelan. Tiga pasang mata kini terpaku pada secarik kertas di tangan Faris.

 

Tak ada yang berbicara untuk beberapa detik. Namun, di antara mereka bertiga, ada satu yang tahu lebih banyak dari yang lain.


---------------


In syaa Allah next ke part selanjutnya


Pesanan Bu Siti

  Aku pernah menikah selama dua tahun. Cerai di tahun ketiga. Prosesnya cepat, kayak mi instan—panas, berasap, dan bikin kenyang emosi. Lima...