Sahur pertama selalu punya cerita sendiri. Alarm sudah dipasang, niat bangun lebih awal sudah ada, tapi tetap saja, mata ini rasanya berat banget. Apalagi, begitu membuka mata, langsung ingat: harus masak makanan yang baru, meski sebagian besar pengguna rumah tahu, kalau nyonya rumah ini kurang suka sering-sering masuk dapur. Namun, mau tak mau tetap harus masuk dapur karena di rumah ini, sahur bukan sahur kalau makannya bukan masakan fresh dari dapur.
Sambil setengah mengantuk, saya menuju dapur. Kompor menyala, suara minyak mendesis, dan aroma masakan mulai menguar. Dalam hati berharap, semoga anak-anak nanti semangat makannya. Namun, ya … namanya juga rumah dengan empat anak yang karakternya beda-beda. Ada yang gampang bangun dan langsung duduk manis, ada yang harus dipanggil berkali-kali, ada yang kalau bangun mood-nya bagus, tetapi ada juga yang bangun dengan drama—entah karena masih ngantuk, nggak selera makan, atau sekadar butuh perhatian lebih.
Begitulah, sahur pertama ini nggak jauh berbeda dari pagi biasanya, hanya saja sekarang lebih dini. Ada yang lahap makan, ada yang protes karena nasinya “kebanyakan” atau lauknya “kurang menarik,” dan tentu saja ada negosiasi yang panjang agar si abang mau menghabiskan makanannya. Tapi di balik semua kerempongan ini, ada momen-momen kecil yang bikin hati hangat. Mungkin saat si kakak yang membantu membangunkan adiknya, atau saat akhirnya semua duduk di meja yang sama, makan bersama meskipun dengan gaya masing-masing.
Sahur itu bukan sekadar makan sebelum puasa, tetapi juga momen kebersamaan yang mungkin jarang terjadi di waktu lain. Jadi, meskipun heboh, saya tetap menikmati setiap detiknya. Karena siapa tahu, beberapa tahun ke depan, justru sayalah yang rindu dengan kehebohan sahur seperti ini. 💕
Bagaimana dengan sahur pertamamu? Ada drama juga atau berjalan lancar? 😆