Pintamu
Oleh: Fitri Junita
“Andai aku menjadi seseorang yang ia idamkan, aku yakin, ia tak kan pergi meninggalkanku.”
Anjas menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Antara kasihan dan gemas karena sikapku yang terkesan tak punya harga diri.
“Jangan berandai-andai, Bram. Berubahlah.”
Apa yang dikatakan laki-laki yang telah lama menjadi sahabatku ini, benar. Aku harus berubah. Namun, bisakah aku berubah seperti yang diinginkan Laila? Ah, rasanya mustahil!
“Untuk apa? Lagipula, wanita itu telah pergi meninggalkanku.”
Embusan napas berat Bram terdengar jelas di indera pendengaranku.
“Setidaknya, berubahlah untuk dirimu sendiri.” Kami terdiam sesaat. “Siapa tau, esok kamu akan bertemu lagi dengan wanita yang lebih baik dari pada Laila," ucapnya lagi.
Ah, rasanya tidak mungkin aku akan bertemu dan bisa mencintai wanita lain. Rasa cinta yang kumiliki sudah habis dibawa pergi oleh wanita berparas ayu dan lemah lembut, yang baru beberapa hari meninggalkanku hanya karena materi. Ya, materi!
“Bagaimana caranya, Anjas?” tanyaku untuk menyenangkan hatinya.
“Bekerjalah lebih giat dan bersikaplah seperti seorang pemimpin. Tunjuk dan buktikan, kalau kamu adalah laki-laki yang bisa diandalkan olehnya setiap saat. Bukan seperti parasit, yang hidup hanya menjadi beban orang lain.”
Aku tercengang dan mematung cukup lama. Saking lamanya, Anjas pergi pun aku tak menyadarinya.
Benarkah selama ini, aku seperti parasit?
Tanpa sadar, tawaku menggema di ruang tamu sebuah rumah kecil yang baru kubeli sebagai hadiah pernikahan untuknya. Hingga tak terasa, bulir bening telah membasahi kedua pipiku. Semenyedihkan inikah kehidupan seorang Bram?
Berhari-hari aku mengurung diri di dalam rumah. Cuti kerja kuambil secara mendadak. Pihak HRD kantor tempatku bekerja bahkan sempat memarahi, tetapi aku beruntung karena atasanku yang juga sepupu dari pihak mama, bisa memahami kondisiku saat ini.
Terlihat cengeng dan seperti seorang pecundang. Hanya karena seorang wanita, aku merasa terpuruk seperti ini. Namun, bukan karena itu aku membatasi ruang gerakku sendiri.
Kata-kata parasit, kini bagai bayangan gelap yang selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bagaimana bisa aku dianggap sebagai benalu oleh orang lain bahkan oleh orang yang amat berarti dalam hidupku. Selama ini hasil keringatku sudah kuberikan semua untuknya. Bahkan aku mempercayakan semua kepadanya termasuk dalam setiap mengambil keputusan.
Bukan aku tak bisa mengambil keputusan, tetapi karena aku sangat mencintai dan menghargainya, kupercayakan semua kepadanya. Mengapa Laila tak bisa melihat itu semua sebagai bentuk rasa sayang dan cintaku kepadanya.
Seminggu sudah aku menyendiri dalam keterpurukan dan kebingungan. Pintu hati dan rumahku pun tertutup rapat. Tak kuizinkan siapa pun masuk ke dalam hidupku. Kini ... aku sudah siap, kembali berperan menjalankan takdirku sendiri.
Kulihat lagi untuk ke sekian kalinya, sebuah amplop coklat yang berlogo pengadilan agama di kota tempat aku menikahi Laila beberapa tahun yang lalu. Meski keherananku belum hilang sepenuhnya, apa alasan sebenarnya wanita cantik itu menggugat ceraiku, tetapi seperti biasa demi rasa sayang dan cintaku kepadanya, akan kuturuti permintaannya ... yang terakhir kalinya.
Minangkabau, 02 Junita 2021